Tentu kita masih ingat pencabutan lebih dari 2 ribu izin perusahaan perkebunan, kehutanan, dan pertambangan oleh pemerintah yang diumumkan Presiden Jokowi pada Kamis, 6 Januari 2022 silam.
Ĺalu pada hari yang sama beredar surat keputusan pencabutan izin-izin perusahaan kehutanan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Surat keputusan dengan nomor: SK.01/ MENLHK/SETJEN/KUM.1/ 1/2022 tertanggal 5 Januari 2022 diteken oleh Menteri LHK, Siti Nurbaya. Isinya mencabut dan mengevaluasi izin kehutanan sebanyak 192 izin dengan luas 3.126.439 hektar.
Jika ditelisik lebih jauh, status izin-izin yang dicabut tersebut terdiri atas perusahaan
pemegang HPH, HTI dan ijin pelepasan kawasan hutan untuk budidaya perkebunan sawit.
Menariknya, banyak di antara perusahaan tersebut sudah melakukan pembangunan infrakstruktur maupun penanaman sawit serta hutan tanaman di dalam areal yang dicabut izinnya itu.
Bahkan setelah izin persetujuan pelepasan kawasan hutan, kemudian Kementerian ATR/BPN telah menerbitkan hak guna usaha (HGU) di atas lahan yang dicabut tersebut.
Seperti yang kita ketahui, izin pelepasan kawasan hutan kedudukannya adalah sebagai salah satu syarat untuk terbitnya HGU pada perusahaan perkebunan sawit yang arealnya beraasal dari kawasan hutan.
Kewenangan atas Areal HGU
Dalam kasus areal perusahaan sawit bekas hutan yang telah memiliki HGU, maka kewenangan atasnya telah beralih kepada institusi yang menerbitkan HGU yaitu Kementerian ATR/BPN. Tidak ada lagi pada Kementerian LHK.
Dengan telah beralihnya hak dan kewenangan atas areal bekas hutan kepada Kementerian ATR/BPN, maka otomatis yang berhak mengevaluasi dan mencabut hak
yang telah diberikan adalah kementerian penerbit HGU tersebut.
Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan Tanah Terlantar menyebut kalau kawasan telantar kawasan non kawasan hutan yang belum dilekati hak atas tanah yang telah memiliki izin konsesi/ perizinan berusaha, yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan dan/ atau tidak dimanfaatkan.
Sedangkan tanah telantar adalah tanah hak, tanah hak pengelolaan dan tanah yang diperoleh berdasarkan dasar penguasaan atas tanah, yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan dan/ atau tidak dipelihara.
Adapun objek kawasan terlantar yang bisa ditertibkan, meliputi:
a. kawasan pertambangan;
b. kawasan perkebunan;
c. kawasan industri;
d. kawasan pariwisata;
e. kawasan perumahan/ permukiman skala besar/ terpadu; atau
f. kawasan lain yang pengusahaan, penggunaan, dan/atau pemanfaatannya didasarkan pada izin/ konsesi/ perizinan berusaha yang terkait dengan pemanfaatan tanah dan ruang.
Sementara objek tanah terlantar yang bisa ditertibkan, yaitu:
a. tanah hak milik (HM),
b. hak guna bangunan (HGB),
c. hak guna usaha (HGU),
d. hak pakai,
e. hak pengelolaan, dan
f. tanah yang diperoleh berdasarkan dasar penguasaan atas tanah.
Prosedur Penertiban HGU sebagai Tanah Terlantar
Jika dihubungan dengan perusahaan perkebunan yang telah memiliki HGU, hanya bisa dikategorikan sebagai tanah terlantar apabila dengan sengaja tidak diusahakan, tidak
digunakan, tidak dimanfaatkan, dan/ atau tidak dipelihara terhitung mulai 2 (dua) tahun
sejak diterbitkan hak.
Kondisi yang sama juga diberlakukan untuk hak guna bangunan, hak pakai, dan Hak Pengelolaan. Pengecualian sebagai tanah terlantar hanya diberikan kepada hak pengelolaan masyarakat hukum adat dan tanah aset bank tanah.
Untuk dapat mencabut HGU yang telah diterbitkan, maka Kementerian ATR/ BPN harus
mengevaluasi kinerja perusahaan dalam pemanfaatan areal HGU dan wajib memberikan peringatan secara berjenjang untuk memberi kesempatan pemegang HGU persyaratan sesuai ketentuan. Setelah peringatan tidak diindahkan, barulah Kementerian ATR/BPN bisa mencabut HGU perusahaan perkebunan tersebut.
Prosedur penetapan suatu objek sebagai tanah terlantar, dimulai dari inventarisasi terhadap tanah yang terindikasi terlantar yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya hak atas tanah.
Selanjutnya setelah adanya laporan dan peta indikasi tanah terlantar tersebut, kemudian dilakukan penertiban dengan tahapan sebagai berikut:
a. evaluasi tanah telantar;
b. peringatan tanah telantar; dan
c. penetapan tanah telantar.
Evaluasi tanah terlantar dilakukan oleh panitia yang dibentuk oleh kantor wlayah ATR/ BPN. Adapun kegiatan evaluasi yang dimaksud setidaknya melakukan:
a. pemeriksaan terhadap dokumen hak atas tanah, hak pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah;
b. pemeriksaan terhadap rencana pengusahaan, penggunaan, pemanfaatan, dan/ atau pemeliharaan tanah;
c. pemeriksaan terhadap pengusahaan, penggunaan, pemanfaatan, dan/atau pemeliharaan tanah secara faktual; dan
d. pemberitahuan kepada pemegang hak, pemegang hak pengelolaan, atau pemegang dasar penguasaan atas tanah untuk mengusahakan, mempergunakan,
memanfaatkan, dan/ atau memelihara tanah yang dimiliki atau dikuasai.
Kemudian dalam hal dari hasil evaluasi ditemukan adanya tanah terlantar, maka Kepala Kantor Wilayah ATR/ BPN memberikan surat pemeritahuan kepada pemegang hak untuk mengusahakan, mempergunakan, memanfaatkan, dan/ atau memelihara tanah yang dimiliki atau dikuasai dalam jangka waktu paling lama 180 hari kalender sejak tanggal diterbitkannya pemberitahuan.
Jika dalam jangka waktu 180 hari berakhir dan pemegang hak tetap tidak mengusahakan, tidak mempergunakan, tidak memanfaatkan, dan/ atau tidak memelihara tanah yang dimiliki atau dikuasai, maka dilakukan proses pemberian peringatan, meliputi:
1. Peringatan tertulis pertama berisi peringatan agar pemegang hak mengusahakan,
mempergunakan, memanfaatkan, dan/ atau memelihara tanahnya daiam jangka waktu paling lama 90 hari kalender sejak tanggal diterimanya surat peringatan pertama.
2. Dalam hal pemegang hk tidak melaksanakan peringatan tertulis pertama, maka diberikan peringatan tertulis kedua yang berisi peringatan agar pemegang hak mengusahakan, mempergunakan, memanfaatkan, dan/ atau memelihara tanahnya dalam jangka waktu paling lama 45 hari kalender sejak tanggal diterimanya surat peringatan kedua.
3. Dalam hal Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan tertulis kedua sebagaimana maka diberikan peringatan tertulis ketiga yang berisi peringatan agar Pemegang Hak mengusahakan, mernpergunakan, memanfaatkan, dan/ atau memelihara tanahnya dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal diterimanya surat peringatan ketiga.
Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi
Menindaklanjuti keputusan yang telah diumumkannya, Presiden Joko Widodo menerbitkan Keppres Nomor 1 tahun 2022 tentang Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.
Satgas ini dipimpin oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia, dengan tugas-tugas dalam kepres ini antara lain:
1. Pemanfaatan lahan bagi pertambangan, perkebunan dan pemanfaatan hutan.
2. Memberikan rekomendasi kepada Menteri Investasi/ Kepala BKPM untuk pencabutan IUP, HGU, HGB, maupun izin konsesi kawasan hutan. 3. Penetapan kebijakan pemanfaatan lahan dengan perizinan sudah dicabut.
4. Klasifikasi lahan dan penetapan peruntukan lahan secara berkeadilan dalam upaya memberikan nilai manfaat bagi kesejahteraan rakyat.
Dalam pernyataannya pasca satgas ini terbentuk, Menteri Investasi/BPKPM menargetkan seluruh proses pencabutan izin usaha atas lahan tak produktif selesai Maret
2022.
Jika dilihat tugasnya di atas, satgas ini sangat strategis, yaitu termasuk menerima klarifikasi dari perusahaan-perusahaan pemilik Hak yang telah dicabut tersebut, sebelum akhirnya direkomendasikan kepada Kementerian Investasi/ BKPM untuk ditata ulang pemanfaatan dan penggunaannya.
Memasuki akhir Maret 2022 ini, patutlah kiranya kita pertanyakan, sejauh mana hasil klarifikasi dari satgas ini. Berapa perusahaan kehutanan atau perkebunan yang lolos verifikasi dan telah ditangguhkan statusnya dalam daftar izin perusahaan yang dicabut berdasarkan Surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan No. SK.01/ MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022.
Publik juga menunggu kabar dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan apakah 192 izin seluas 3.126.439 hektar yang telah dievaluasi atau dicabut tersebut telah dialokasikan pengelolaannya kepada masyarakat adat/ lokal/ tempatan atau malah dialokasikan kembali kepada perusahaan-perusahaan lain.
Satgas dan Kementerian terkait hendaknya kembali mengumumkannya di akhir Maret
2022 ini, sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas kepada publik pemangku kepentingan kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Agar tidak ada spekulasi publik
bahwa keputusan tersebut hanya sebagai alat meningkatkan elektabilitas politik dan posisi tawar dengan kalangan pengusaha.
Penulis: Ahmad Zazali SH, C.Me (Senior Associate di AZ Law Office & Conflict Resolution Center, Firma Hukum dan Resolusi Konflik)