Kehebohan terjadi manakala Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus perkara gugatan perbuatan melawan (PMH) hukum No. 757 yang dilayangkangkan Partai Prima kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 1 Maret 2023 lalu. Partai Politik, kalangan akademisi  dan praktisi hukum pun angkat bicara mengomentari putusan tersebut dengan premis yang menyalahkan Majelis Hakim yang memutus perkara tersebut. Media cetak, elektronik dan media sosial juga dipenuhi dengan artikel dan konten serupa yang mempertanyakan mengapa gugatan Perdata PMH yang bersifat privat tetapi masuk ke ranah hukum publik, yaitu penundaan tahapan pemilihan umum (Pemilu), karena ini dianggap bertentangan dengan kewenangan absolut Pengadilan Negeri.

Namun demikian, sebagian pihak berpendapat bahwa putusan tersebut harus dihormati, karena itu merupakan bentuk kemandirian hakim berdasarkan pertimbangan keadilan. Kelompok ini berpendapat Majelis Hakim memungkinkan untuk membuat putusan yang melampaui gugatan atau petitum dari penggugat (ultra petita).

Jika ditelisik ke belakang, maka perkara gugatan Partai Prima terhadap KPU ini sudah berlangsung panjang, yaitu diawali karena ketidakterimaan Partai Prima terhadap putusan KPU yang tidak meloloskan Partai Prima pada tahap verifikasi administrasi dan faktualdisebabkan tidak memenuhi syarat (TMS). Perkara ini sudah pernah disengketakan melalui Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), namun menemui jalan buntu pada tahap Mediasi oleh Bawaslu, sehingga Bawaslu memutus Partai Prima untuk melengkapi kekurangan dalam jangka waktu 1 kali 24 jam.  Kemudian berlanjut sengketa dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), namun ditolak. Merasa tidak mendapat keadilan, Partai Prima mengajukan gugatan PMH ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hingga berbuah putusan yang mengabulkan semua gugatan Partai Prima, dimana salah satunya petikan putusannya menyatakan  menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilu dari awal selama lebih kurang 2  tahun 4 bulan 7 hari.

Implikasi putusan ini menyebabkan penyelenggaraan tahapan Pemilu yang sudah berjalan harus diulang, dan ini berarti penyelengaraan Pemilu yang sedianya akan dilangsungkan pada tanggal 15 Februari 2024 akan mundur. Implikasi lainnya, akan ada kekosongan jabatan di lembaga-lembaga negara, termasuk Presiden dan DPR RI. Penundaan Pemilu juga dianggap bertentangan dengan konstitusi, karena masa jabatan Presiden dalam UUD 1945 dinyatakan hanya 5 tahun dan harus dipilih kembali.

Perlawanan Hukum

Berbagai pihak mendukung upaya hukum banding yang dilakukan KPU, dengan harapan putusan Penagadilan Negeri Jakarta Pusat ini dapat di batal di tingkat Pengadilan Tinggi Jakarta. Bahkan, Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) terang-terangkan menghimbau dilakukan perlawanan hukum terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini. Menkopolhukam juga mensinyalir ada kekuatan besar yang ikut campur menskenariokan lahirnya putusan penundaan Pemilu ini. Kelompok kekuatan mana yang dimaksud menjadi tanda tanya di publik, jika dibubung-hubungkan maka publik akan bespekulasi kepada kelompok kekuatan yang selama ini menyuarakan perpanjangan masa jabatan Presiden. Singkat cerita, pernyataan Menkopolhukam ini akan menggirim publik pada kesimpulan bahwa ini konspirasi kekuatan Istana Negara.

Hiruk pikuk putusan penundaan Pemilu ini berpotensi semakin memanaskan suhu politik tanah air jika tidak ada jalan keluar yang cepat dan berkeadilan. Jika harus menunggu putusan banding KPU,  maka waktu yang dibutuhkan paling tidak 3 bulan lagi, belum lagi kalau ada upaya hukum lanjutan hingga ke Kasasi dan dilanjutkan hingga Peninjauan Kembali, maka putusan akhir akan menunggu waktu setidaknya 9 bulan lagi. Masa menunggu tersebut akan menguras energi publik dan menyebabkan spekulasi-spekulasi semakin liar yang dapat mengganggu citra kepastian hukum, termasuk dapat mempengaruhi minat investor untuk berinvestasi di Indonesia.

Dengan demikian maka dibutuhkan penyelesaian yang cepat dan final, namun tetap bisa menjamin keadilan bagi penggugat atau Partai Prima dan kepastian tahapan Pemilu juga terjamin. Karena itu, Pilihan model penyelesaian sengketa perlu dilihat lagi peluang-peluangnya. Sesungguhnya upaya perlawanan hukum tingkat banding, kasasi hingga peninjauan kembali bukanlah jalur satu-satunya.

Peluang Jalur Dading

Untuk mendapatkan perspektif tentang penyelesaian secara dading atau perdamaian, maka kita harus menggali kembali kearifan nilai-nilai adat dan budaya bangsa Indonesia dalam penyelesaian sengketa bangsa Indonesia, yaitu menggunakan melalui jalur musyawarah untuk mufakat. Berbagai norma hukum adat maupun norma agama mengajarkan kita untuk mengutamakan jalur musyawarah, bahkan sila ke empat Pancasila dan nilai-nilai pengamalan yang terkadung di dalamnya secara eksplisit menyatakan tentang mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama yang dilaksanakan dengan rasa penuh tanggungjawab menggunakan akal sehat dan hati nurani yang luhur.

Jalur dading dalam hukum positif hari ini juga telah mendapatkan keistimewaan, untuk konteks perkara perdata yang sudah masuk ke Pengadilan telah ada pengaturan prosedur dan tahapan dading yaitu dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Perma 1 tahun 2016) dan administrasi secara rinci diatur dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 108 tahun 2016 tentang Tata Kelola Mediasi di Pengadilan.

Relevansinya dengan perkara gugatan Partai Prima terhadap KPU bisa terjawab kalau kita menyimak Bagian Kedua Pasal 34 Perma 1 tahun 2016 yang intinya menyatakan bahwa perdamaian sukarela bisa dilakukan pada tingkat upaya hukum Banding, Kasasi, atau Peninjauan Kembali. Adapun mekanismenya yaitu para pihak berperkara dapat menempuh upaya perdamaian sepanjang perkara belum diputus, baik di tingkat Banding, Kasasi maupun Peninjauan Kembali. Para pihak kemudian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tertulis yang dihasilkan kepada Hakim pemeriksa perkara tingkat banding, Kasasi atau Peninjauan Kembali melalui Ketua Pengadilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Bahkan dalam Ayat 3 Pasal 34 Perma 1 tahun 2016 ini menyatakan bahwa Kesepakatan perdamaian yang dicapai antara para pihak dapat mengesampingkan putusan pengadilan yang telah ada. Dengan begitu Partai Prima dan KPU harus ada konsensus bersama untuk duduk bersama, baik secara dengan bantuan Mediator bersertifikat maupun secara langsung untuk menghasilkan suatu kesepakatan yang memenuhi rasa keadilan bersama dan keadilan publik berkenaan dengan penyelenggaraan tahapan Pemilu.

Lebih lanjut diatur pada Ayat 4 Pasal 34 menyatakan bahwa kesepakatan perdamaian yang dihasilkan para pihak akan dikuatkan dengan akta perdamaian atau acta van dading oleh Hakim pemeriksa perkara tingkat Banding, Kasasi atau Peninjauan Kembali dalam kurun waktu paling lama 30 hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan perdamaian. Dengan begitu, kekuatan hukum akta perdamaian ini setara dengan putusaan pengadilan yang bersifat final dan mengikat serta inkrah (inkracht van gewijsde).

Penyelesaian secara dading ini diharapkan bisa mengakomodir gugatan untuk mendapatakan keadilan yang menjadi kepentingan Partai Prima, dan sekaligus dapat mengakomodir kepastian hukum tentang tahapan pelaksanaan Pemilu 2024, sehingga kehebohan dan kontroversi tentang putusan Majelis Hakim Pengadilaan Negeri Jakarta Pusat akan lebih cepat diakhiri, tanpa harus ada upaya hukum berkelanjutan hingga tingkat Kasasia maupun Peninjauan Kembali.

Oleh: Ahmad Zazali, S.H., M.H.

Praktisi Sosio Legal, Mediator dan Resolusi Konflik di AZ Law Office & Conflict Resolution Center

Leave a Comment